Minggu, 04 Oktober 2015

PUJAWALI PURNAMA SASIH KAPAT PURA GIRINATHA PUNCAKSARI BINTAN


Pada hari Senin Kliwon, 28 September 2015 umat Hindu di Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan sekitarnya mengikuti prosesi pujawali. Walaupun kabut asap sedikit menggangu pernafasan, jarak pandang dan aktivitas lainya, tetapi umat Hindu tidak mengurungkan niatnya untuk melaksanakan pujawali, terlebih pada pujawali kali ini panitia menghadirkan 2 (dua) narasumber dari redaksi Media Hindu Jakrta yaitu Bapak Dewa Ketut Suratnaya dan Ibu Tiwi Susanti. Pujawali diikuti oleh lebih kurang 100 umat dari kota tanjung pinang, kabupaten Bintan dan beberapa umat Hindu dari Kota Batam yang bias menyempatkan diri hadir. Hadir dalam kesempatan itu Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd selaku Pembimas Hindu pada Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepulauan Riau, Purwadi, S.Ag selaku Penyuluh PNS Agama Hindu Provinsi Kepulauan Riau, kemudian Nyonya Dara Astuti selaku Ketua WHDI Prov. Kepulauan Riau, kemudian Penyelenggara Hindu Kantor Kemetenrian Agama Kota Batam Ketua PHDI, WDHI Kab. Bintan, PHDI dan WHDI Kota Tanjung Pinang dan pimpinan lembaga agama dan kegamaan lainya.

Pujawali selalu diidentikkan dengan hari ulang tahun pura. Tetapi bukan ulang tahun seperti yang kita tayakan setiapa tahunya. Pujawali diperingati secara berkala, ada yang setiap enam bulan ada juga yang setahun sekali, tergantung kemampuan umat Hindu. Pujawali diambil berdasarkan wewaran, wuku, sasih tidak berdasarkan tanggal seperti ulang tahun kita sebagai manusia. Pujawali lebih ke arah aktivitas spiritual, ritual umat Hindu untuk memuja kembali (Puja mewali) turunya Ida Bhetara yang bersthana di Pura yang kita usung.

Pada H-1 pujawali, umat Hindu di Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan dan sekitarnya mengikuti ruwatan/panglukatan Nawa Ratri dengan menggunakan sedikitnya 9 (sembilan) warna bunga ditambah air kelapa gading yang sudah tidak diragukan lagi kasiatnya. Tujuan dari panglukatan ini adalah menghilangkan segala jenis kekotoran batin akibat dari aktifitas pikiran, perkataan dan perbuatan kiita, ditambah lagi dengan gelombang suka dan duka yang selalu dialami manusia. Pikiran harus dimurnikan agar kita siap menerima gelombang suka dan duka kehidupan. Di rumah umat bisa sendiri melakukan pengkukatan dengan air kelapa gading pada saat bulan purnama. Di mana dupa yang menyala kita celupkan dalam air kelapa gading yang bermakna menghidupkan kekuatan Brahma dalam air kelapa gading itu setelah itu kita percikkan ke pelinggih, rumah, pekarangan, tubuh kita dan bisa di minum terutama oleh ibu yang sedang hamil, bias juga ketika energi sedang ngedrof. Banyak sekali permasalahan umat yang muncul, di sinilah peran rohaniawan di samping melayani umat di bidang ritual keagamaan, pendidikan pasraman, juga harus mampu memecahkan masalah umat, bimbingan konseling segala bidang dari kelahiran, perkawinan, kematian bahkan konsultasi secara skala dan niskala, sehingga umat akan tercerahkan secara skala dan niskala. Kita harus mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh umat Hindu. Di satu sisi banyak sekali berita menggembirakan bahwa banyak umat lain yang berbondong-bondong pindah ke agama Hindu, terutama di Jawa, tetapi kita harus siap membina mereka, memberikan pelayanan manusa Yajña mulai dari kelahiran, raja sewala, pengurusan perkawinan, rumah ibadah, pendidikan pasraman sampai pada urusan pitra Yajña/pengebenan dan konseling permalahan kehidupan, niscaya umat yang baru masuk tidak kembali ke agama yang lama. Pemerintah bekersama dengan Parisada dan lembaga keagamaan lainya beserta umat Hindu harus bersatu memecahkan permasalahan ini.

Pujawali kali ini terbilang istemewa karena kembali bertepatan dengan bulan Purnama sekaligus gerhana bulan yang berwarna merah, walau tidak dapat terlihat di wilayah Indonesia.  Tentunya bulan Purnama sangat baik untuk melakukan aktifitas Yajña apalagi pujawali. Setelah persembahyangan bersama yang dipimpin oleh Jro Mangku Pasek Okadana, Pembimas Hindu memberikan kata sambutan. Dalam sambutanya Pembimas Hindu mengajak umat Hindu di Tanjung Pinang untuk menjaga kerukunan umat, persatuan umat. Jika sudah tidak rukun maka tidak akan nyaman dalam beribadah. Beliau juga memberi apresiasi yang tinggi kepada panitia pujawali yang telah bekerja keras mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan hingga pada proses laporan pertanggung jawaban pelaksanaan Pujawali. Tidak lupa beliau sekaligus mewakili umat Hindu Kota Tanjung Pinang megucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu jalannya pujawali dari awal sampai akhir.

Selanjutnya umat Hindu Tanjung Pinang mendengarkan dharma wacana, kali ini dibawakan oleh Dewa Ketut Suratnaya dari Media Hindu Jakarta. Dalam dharma wacananya beliau menyatakan bahwa Pujawali pada umumnya diawali dengan prosesi Mecaru. Mengapa harus mecaru? Mecaru berasal dari kata “car” yang artinya bersih. Membersihkan energi negatif, mengubah dominasi energi negatif menjadi energi positif. Mecaru adalah persembahan pada Bhuta atau kekuatan alam, pada penguasa ruang dan waktu (kala). Mecaru juga bisa dimaknai sebagai persembahan pada pertiwi karena manusia hidup di atas bumi, sehingga manusia harus hormat kepada Ibu pertwiwi (bumi). Mecaru dapat menyucikan area pura, meningkatkan energi spiritual pura atau skaralisasi area pura. Caru biasanya di sertai dengan ayam dan banten lainya seperti daksina. Pada tingkatan energi bulu-bulu ayam akan bekerja untuk membersihkan energi yang negatif di area  pura. Sehingga ke depannya energi pura dapat bekerja dengan sendiri untuk membersihkan kekotoran yang ditimbulkan oleh ulah manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Mengapa caru harus disertai dengan banten daksina?, sebab kalau tidak maka roh sang ayam tidak akan mengalami evolusi roh ke arah yang lebih baik, dan jika hal ini terjadi maka hal ini tidak lebih dari pembunuhan terhadap ayam itu sendiri, ayam tidak mengalami roh yang lebih baik. Di sinilah pentingnya banten daksina sebagai media pengantar roh sang ayam. 

Banten pujawali secara umum ada 3 (tiga) fungsi yaitu:  byakala, atau bermakna persembahan kepada bhuta kala atau ebayar “bya” kala yaitu membayar hutang kepada ruang dan waktu dan penguasa waktu “kala: itu sendiri. Manusia berhutang kepada raung dan waktu, berhutang atas hidup dan waktu untuk bernafas. Yang kedua adalah banten durmanggala yang biasanya ada kelapa hijaunya sebagai simbol Wishnu yang memelihara ciptaan Brahma pada proses penciptaan. Kemudian ada unsur prayascita yang berfungsi pembersihan akhir dan membersihkan sifat—sifat Yajña yang rajasik dan tamasika menjadi sattwika. Di sini peran Siwa lebih dominan dalam proses prayascita sehingga kehidupan manusia di bumi ini menjadi atenang dan damai. Pada tahap selanjutnya akan terjadi proses ektoplasma di mana terjadi persatuan antara yantra, tantra dan mantra sehingga Yajña menjadi sidhi. Yantra merupakan simbol-simbol/nyasa dalam upacara pujawali. Sedangkan tantra yang merupakan teknik dari menghidupkan mantra dan banten pujawlai itu sendiri. Terakhir adalah peran mantra yang diuncarkan manggalaning upacara juga menentukan keberhasilan Yajña. Mantra adalah kata – kata tetapi tidak semua kata-kata adalah mantra. Lalu kata-kata yang bagaimana agar bias disebu mantra? Tentunya kata-kata yang mengandung doa, kata-kata yang berasal dari Weda Sruti atau Smerti, kata-kata Weda yang diucapkan dengan penuh keyakinan akan keberhasilanya. Jika tidak memiliki sradha atau keyakinan terhadapa mantra maka lebih baik jangan ucapka mantra itu. Hal ini sangat luar biasa sehingga di sini kebehaslan karya akan terjadi sehingga ada istilah lascayra (keikhlasan) sehingga membuat karya menjadi sidhi karya (Yajña yang berhasil) dan labda karya (membawa kesejahteraan dan kesucaian umat). Unsur yantra, tantra dan mantra tidak bisa dipisahkan dalam proses Yajña baik oleh sang yajamana, serathi banten dan manggalaning upacara jika ingin berhasil. Jika ini terjadi maka pura dapat menyerap energi 3 (tiga) dewa yang kita kenal dengan Tri Murti dan energi dari ista dewata lainya terlebih leluhur. Sungguh lar biasa kekuatan dari yantra, tantra dan mantra.

Lalu mengapa harus ada mendak nuntun Ida Bhetara, mekalya hyas, purwa daksina dan tari rejang dewa? Perlu kita ketahui ada 3 (tiga) sifat Tuhan yaitu: Parama Siwa di mana Tuhan tidak ada pengaruh maya, tidak tepikirkan, acintya rupa, tidak berwujud. Kemudian Sada Siwa, di sini sudah ada sedikit pengaruh maya.  terakhir adalah Siwa di mana Tuhan sudah berwujud dan terjadi pengaruh maya dan suka dukkha kehidupan. Konsep Tuhan sebagai atau jiwa-jiwa dalam makhluk hidup yang sudah mengalami gelombang suka duka kehidupan, terkena pengaruh maya, panas dingin dan dualisme duniawi lainnya. Di sinilah ditemukan bukti bahwa Atman adalah Brahman itu sendiri yang ada pada setiap makhluk hidup dan terkenan pengaruh maya. Tuhan dalam prabhawa-Nya sebgai Ida Bhetara yang berstana di Pura dapat kita puja dengan visualisasi berupa simbol dan wujud tertentu, hal ini memudahkan kita untuk berkonsentrasi memuja Tuhan. Tuhan kita umpamakan seperti raja yang harus kita hormati, kita layani, kita buat beliau merasa senang dan inilah jalan bhakti yang sangat universal. Bahkan Atmasnastusti atau kepuasan batin dalam Yajña mendapat tempat yang tinggi dan menjadi sumber hukum Hindu sesuai yang tersurat dalam Kitab Manu Smerti atau Manawa dharma sastra. Sehingga sering kita umat Hindu melakukan menghias Ida Bhetara, menggotong jempana/daksina linggih Ida Bethara ke pura atau tempat suci lainya. Di sini bukan berarti Ida Bethara di Pura A kosong karena umatnya membawa daksina linggih Ida Bhetara ke Pura B atau tempat suci lainya. Di Jabodetabek biasa kita jumpai saat umat Hindu ngiring Ida Bhtetara ke pura lain yang sedang ada pujawali, mendak tirtha, nyegara gunung atau melasti. Kembali inilah penerapan konsep bhakti dan berkembang menjadi etika yang kita jadikan norma bersama dalam setiap upacara Yajña termasuk pujawali. Umat Hindu juga membuat banten gelar sanga untuk dimensi alam bawah. Ini untuk mengantisipasi kehadiran Ida Bhetara yang terkadang hadir sendiri, tetapi terkadang membawa banyak teman dan pasukanya.

Selanjutnya dalam pujawali biasanya umat Hindu melakukan aktifitas Purwa daksina biasanya berputar  mengelilingi padmasana searah jarum jam yang mengandung makna bahwa kita harus ikut memutar roda kehidupan di jalan yang benar. Jika kita tidak bekerja mencari nafkah maka kita akan tergials dalam perputaran roda kehiupan Purwa daksina juga merupan bentuk penghormatan kepada Tuhan seru sekalian alam agar dunia ini tetap tegak.


Lalu mengapa kita sembahyang harus ke pura? Pura mempunyai energi “datu” yang leih baik di banding datu di rumah atau di kantor. Tetapi terkadang kareana alasan tidak mau bergaul dengan orang lain kadang umat tidak mau ke pura karena berbagai alasan di antaranya bahwa Tuhan bisa di puja di mana saja, memang benar seperti itu akan tetapi pura jauh lebih baik dalam hal vibrasi dan kesucian. Akan berbeda jika kita sembahyang di rumah atau di tempat yang lainya. Kita duduk dan sembahyang saja sudah akan menerima vibrasi positif pura, apalagi kita melakukan meditasi, japa dan yoga lainya. Pelinggih pura juga memiliki fungsi yang sangat besar dalam proses pemunian pikiran karena pelinggih berfungsi sebagai akses menuju Tuhan. Dengan alasan ini maka umat Hindu harus memberdayakan pura, umat harus pergi ke pura karena Pura mempunyai Datu yang lebih baik dibandingkan sembahyang di rumah. Panca Datu mewakili lima elemen logam dan juga unsur Panca Maha Bhuta. Datu tidak hanya di tanam di pura, tetapi juga bisa di rumah, kantor, dan bahkan dalam tubuh manusia. Dalam tubuh manusia ada unsur panca datu yang harus dihidupkan agar bermanfaat bagi hidup kita yaitu: getah bening, lemak, daging, tulang, sungsum. Di rumah juga bisa ditanam jahe, lengkuas kunyit jadi satu dalam satu pot tanaman atau tanah.

Pada pekembanganya peran pemangku dan pinandita harus kita tingkatkan. Jangan kita batasi. Kalau dulu pemangku hanya bertugas memberikan pelayanan di bidang upakara Yajña, maka sekarang pemangku bertugas memberikan peyuluhan umat dan bimbingan konseling tenis keagamaan lainnya. Pemangku pada perkembanganya berhak untuk muput upacara Yajña termasuk karya pujawali. Di sini terkadang umat terlalu takut dan beranggapan bahwa seolah-olah pujawali harus dipuput oleh seorang sulinggih atau dwijati seperti pedanda, Ida Resi, dan sebagainya, sehingga peran pemangku termarinalkan. Jika umat terbingungkan oleh rohaniawan maka kembalilah ke sastra. Tuhan dalam Bhagavadgita mengatakan bahwa hendaknya orang suci yang bijaksana tidak membingungka umat demu kepentingan materi dan kepenteingan lainnya. Dalam sastra sebuah uaakara harus ada tri Manggalaning upakara yaitu sang yajamana, serathi banten dan manggalaning upakara. Pemuput Yajña tidak harus sulinggih untuk tingkatan pujawali. Di sini harus ada sinergi dan hubungan antara tri Mangalaning Yajña. Satu dengan yang lain tidak dapat terpisahkan keberadaanya, sehingga yajnya yang satwika dapat terwujud.

Untuk mewujudkan pelaksanaan Yajña yang sāttwika, ada tujuh syarat yang wajib untuk dilaksanakan sebagai berikut: 1) Śraddhā artinya dalam melaksanakan Yajña harus keyakinan, jika tidak maka akan sa-sia. 2) Lascarya artinya ikhlas. 3) Śāstra yaitu pelaksanaan Yajña harus berdasarkan sumber śāstra yaitu śruti, smŗti, śila, ācāra, ātmanastuṣṭi. 4) Dakṣiṇa adalah harus ada persembhan benda atau uang. 5) Mantra dan Gītā adalah pelaksanaan Yajña dengan Mantra dan melantunkan lagu-lagu suci/kidung untuk pemujaan. 6) Annasewa, yaitu dalam upacara yaja harus ada persembahan makan kepada para tamu yang menghadiri upcara (Atithi Yajña). 7) Nāsmita adalah Yajña yang dilaksanakan dengan tujuan bukan untuk memamerkan kemewahan dan kekayaan.

kualitas suatu upakara tergantung pada ketulusan, karena kemewahan upakara yang bukan merupakan jaminan yang mutlak keberhasilan upakara yang dilakukan oleh umat. Agar sebuah upaara Yajña behasil maka harus ada unsur Panca Tarka yaitu Iksa atau tujuan dari upakara Yajña, Śakti atau kemampuan umat, desa atau tempat berlangsungnya upakara, kalau upakara dilaksanakan di Kep Riau dan Tanjung Pinang maka akan berbeda dengan pelaksanaan upakara yajna di Bali. kemudian kala atau waktu, yang terakhir adalah tattwa, di mana yajna harus berpedoman pada śāstra Agama. Jangan jor – joran dan merusak kelangsungan alam dan makhluk hidup. Tetapi jangan juga pelit, mampu melakukan upakara yajna tetapi pura-pura tidak mampu, sehingga proses yajna dan dana punia tidak berjalan. Dalam sepbuah yajna jika ingin berhasil maka harus ada daksina kepada rohaniawan dan annasewa atau permbahan makanan baik kepada rohaniawan dan umat Hindu. Jika rohaniawan tidak diberi daksina dan pulang dengan perut yang belum terisi makanan, maka yajan upakara sebesar apapun akan menjadi pahala rohaniawan yang muput karya upakar yajna termasuk pujawali. Ini harus kita pikirkan bersama agar sebuah yajna menjadi lascarya, sidhi karya dan labda karya.  Sehingga akan terwujud loka samgraha, semoga.